Oleh :
Muhammad Arsyad
Sudah tiga bulan, sejak lulus S1
Fakultas Ekonomi di salah satu Universitas di luar kota Reza belum kunjung
mendapat pekerjaan. Bukan malas mencarinya, Reza sudah berusaha semaksimal
mungkin untuk mencari kerja. Tetapi sampai sekarang dia masih nganggur. Bekal
S1 ekonominya tidak bisa di jadikan andalan bagi dirinya untuk melamar kerja.
Ia putus asa dan sampai akhirnya dia memutuskan untuk kuliah S2 diluar kota,
yang diharapkan olehnya adalah bisa mencari ilmu sebagai tambahan bekal agar ia
dapat bekerja.
Namun, keinginan Reza berbanding
terbalik dengan ayahnya. Pak Hendro, ayah Reza tidak menyetujui keinginan Reza
itu. Dia tidak ingin anaknya menganggur untuk selamanya. Yang pak Hendro
inginkan adalah anaknya bisa bekerja, itu saja. Mengingat ayahnya tidak menyetujui
keinginannya, Reza termenung. Dalam benaknya, apalah yang bisa dilakukan oleh
seorang S1 seperti dirinya, dia menganggap bahwa di tempatnya sudah tidak
membutuhkan orang yang berpendidikan. Dia melihat keluar, banyak orang yang
hanya lulusan SD sudah bekerja di kios pak Doni. Bukan menjadi pelayan kios
atau bahkan bagian pemasaran.
Namun, orang lulusan SD yang bekerja di kios itu
hanyalah seorang pengangkat barang dari truk ke gudang, itu saja. Sejenak, Reza berfikir kembali. Dia
ingin seperti mereka. Jadi pengangkat barang. Namun, keinginan tersebut malah
ditentang lagi oleh ayahnya.
“Kamu itu siapa? Sekolah dimana?”
kata pak Hendro sambil menaruh koran yang sedang dibaca.
“Maksud bapak apa?” Reza menjawab
dengan pelan.
“Dengar! Percuma kamu saya sekolahkan
sampai S1. Untuk apa S1, jika akhirnya kamu hanya jadi kuli! Pikirkan nak, apa
kau tidak malu? Jika memang begitu, kamu bapak usir dari sini!!” pak Hendro
berkata dihadapan Reza dengan menunjuk pintu akan mengusirnya.
Mendengar apa yang dikatakan ayahnya
itu, Reza kembali termenung. Dalam benaknya dia berfikir “Kehidupan memang suram
bagi seorang sarjana” dia hampir menyesal karena terlalu lama menempuh
pendidikan. Kehidupannya suram, tak tahu jalan keluar. Yang bisa dilakukannya
hanya termenung saja, tidak ada yang lain.
Dulu Reza memang anak yang sangat
cerdas, dia selalu rangking satu. Mungkin, karena dulu pada waktu sekolah dia
selalu sukses, dan sekarang dia hancur karena kesuksesan telah diraihnya dulu
pada waktu bersekolah dan kuliah. Hidupnya sekarang ini tidak memiliki arah,
entah mau kemana. Pendidikan tak mampu membuatnya sukses sampai sekarang.
Sejenak dia memikirkan nasib
teman-temannya sekolah. Dia mulai berpikir bahwa teman-temannya juga seperti
dia. Dia mulai berpikir bahwa semua orang yang berpendidikan itu tidak berguna.
Pada suatu saat, dia menonton tv.
Reza amat sangat terkejut temannya ada di dalam siaran tv, dan menjadi pembawa
berita di acara yang dia tonton. Melihat hal tersebut dia langsung lari,
mengambil ijazahnya dan mencoba mencari kerja. Didalam perjalanan, dia berubah
fikiran, ternyata orang cerdas berguna di tv.
Dia langsung mencari pekerjaan dan
benar saja, ini hari keberuntungannya. Tertulis di muka pintu “Lowongan Kerja
untuk bagian administrasi”. Wah, senang sekali hatinya sambil tersenyum dia
membuka pintu dan bertemu dengan salah satu karyawan.
“Maaf mas, saya lihat di depan,
disini membutuhkan tenaga kerja bagian administrasi. Kalau boleh tahu gimana
caranya?” Reza bertanya dengan salah satu karyawan.
“Oh ya. Mas masuk di ruang itu saja!”
kata karyawan itu sambil menunjukkan pintu ruangan sebelah selatan.
Dengan tetap tersenyum, wajahnya
sumringah. Reza tetap berwibawa ketika akan bertemu pemilik perusahaan itu. Dan
sampailah dia didepan seseorang yang sedang telpon.
“Permisi...” Reza mengetuk pintu,
lalu membukanya.
“Ya, masuk!” kata seseorang didalam
ruang itu.
Reza memutuskan untuk masuk, dia
dipersilahkan duduk oleh seseorang yang tidak dikenalnya.
“Maaf pak, bapak ini pemilik
perusahaan ini ya?” Reza bertanya pada orang dihadapannya.
“Duduk dulu mas!” kata orang itu.
Reza pun duduk di hadapan kursi
besar, namun kursi yang dia duduki tidak besar.
“Anda mau jadi karyawan bagian
administrasi?” tanya orang itu.
“Iya, maaf. Kalau mau ketemu bosnya
dimana?” Reza bertanya.
“Kalau mau, saya yang ngurus. Tidak
perlu dengan pak bos. Karena saya sudah diamanati untuk menerima karyawan baru.
Mana persyaratannya?” jawab orang itu.
“Ini” jawab Reza sambil menarung
brangkas.
“Sudah, nanti saya kirim
persetujuannya.” Kata orang itu dan mempersilahkan keluar.
Dengan wajah penuh harapan. Reza
senang sekali, kini dia hanya mampu berharap dia bisa diterima disana. Dalam
perjalanan menuju rumah, dia tak sabar untuk memberitahukan kabar baik ini
kepada ayahnya, dan ingin tahu apakah ayahnya senang atau tidak.
Sesampainya dirumah, Reza memarkirkan
motornya dihalaman. Reza mengetuk pintu, dia berbicara dengan ayahnya. Betapa
senangnya Reza ketika melihat ayahnya tersenyum mendengar berita itu.
Sekarang sudah berubah, Reza tak lagi
murung. Dia sangat bersiap-siap untuk bekerja suatu hari nanti. Harapannya
hanya ini, tak ada yang lain. Mungkin inilah berkahnya menuntut ilmu selama
ini, tak ada yang mengatakan ilmu itu tak berguna. Reza membuktikannya, dengan
bertekad baja, tak ada yang bisa menghentikannya. Doa selalu ia panjatkan
kepada Tuhan agar semua cita-citanya tercapai dengan lancar.
Dua hari telah berlalu, surat
persetujuan belum juga datang dikirim kerumah. Kecemasan Reza membeludak. Dia
tak kuasa menahan dirinya yang terus mondar-mandir keluar masuk rumah, tak tahu
apakah diterima apa tidak. Sore ini memang indah, angin bertiup sepoi-sepoi,
tapi tidak untuk Reza, angin yang semilir ini dibayangkannya bak nasibnya yang
tak tahu kemana.
Sudah pukul lima sore. Tak ada yang
datang mengantarkan surat persetujuan, wajah Reza mulai layu, dia resah tak
karuan rasanya. Keadaannya ini dirasakan bak minum obat dan langsung sakit.
Namun, Reza tak putus berdoa. Tak mau berfikir yang tidak-tidak. Dan mandi
adalah salah satu jalan untuk tidak bingung.
Ketika Reza sedang mandi, terdengar
dari dalam kamar mandi suara motor berhenti, dan orang mengetuk pintu. Dalam
hatinya, itu pasti orang yang mengantarkan surat itu. Dengan cepat dia
menyelesaikan mandinya. Segera dia masuk kamar untuk ganti baju. Dia semangat
sekali, tak ada yang bisa mengalahkan senyumnya yang lebar.
Selesai dia ganti baju, dia tanyakan
tentang orang yang mengetuk pintu tadi kepada ayahnya. Dan dia sangat terkejut,
benar-benar kaget tiada terkira, wajahnya yang tadi di kamar mandi berubah
drastis, dia tak menyangka apa yang diharapkannya itu ternyata bukan. Ternyata
orang tadi adalah pak Sen, tetangga sebelah yang mengirimkan undangan khitanan
anaknya. Lalu, darimana suara motor tadi?. Dan ternyata, ketika Reza keluar,
suara motor tadi datang dari orang yang berhenti didepan toko.
Memang sulit menunggu harapan, tak
semua orang bisa meraihnya. Mungkin ada, tapi jarang ada orang yang langsung
terwujud harapannya. Reza tetap tak putus harapan, dia selalu berdoa dengan
sungguh-sungguh, karena hanya itu yang dapat dia lakukan. Kehidupan memang
membutuhkan doa.
Hari sudah mulai gelap, suara adzan
maghrib berkumandang merdu yang terenyuh diantara kegelisahan Reza. Adzan yang
harusnya membawa senang dan suka cita, kini membawa gelisah dan khawatir bagi
seorang Reza. Tak mau terus bingung Reza pun pergi untuk sholat maghrib bersama
ayahnya di mushola seberang jalan raya diluar kampung.
Ketika selesai sholat, Reza langsung
kerumahnya, dan masih tetap berharap. Tak ada setengah jam dia sampai rumah.
Ada suara orang mengetuk pintu, namun kali ini tanpa suara motor atau mobil.
Reza mengira ini hanya tetangga yang mau perlu dengan ayah.
“Reza... Reza... Assalamualaikum!”
teriak orang yang mengetuk pintu.
“Ayah saja yang membukakannya!” Reza
meminta ayahnya yang membukakan pintu itu.
“Ya, sebentar!” kata pak Hendro
berteriak dari dalam.
“Oh, bu Wati. Ada apa bu?” pak Hendro
membuka pintu dan kaget.
“Ini pak, ada surat. Katanya sih
untuk Reza” kata Bu Wati sambil memberikan surat itu.
“Dari siapa bu?” tanya pak Hendro
sambil menerima surat itu.
“Saya kurang tahu, tadi pas saya
lewat ada mobil yang berhenti didepan rumah bapak, dan orang itu pakai jas.”
Jawab bu Wati.
“Oh, ya sudah. Makasih bu.” Jawab pak
Hendro.
“Ya, sama-sama. Saya pergi dulu ya,
assalamualaikum” kata bu Wati sambil tersenyum.
“Waalaikumsalam” jawab pak Hendro.
Setelah surat itu ada ditangan pak
Hendro. Pak hendro akan memberikannya pada Reza.
“Za... Reza!!” teriak pak Hendro.
“Iya pak” teriak Reza dari dalam.
“Ini” kata pak Hendro sambil
memberikan surat itu.
“Ini dari siapa?” Reza bertanya.
“Tak tahu, katanya sih dari orang
yang memakai jas.” Jawab pak Hendro.
Dengan hati yang berubah lagi, wajah
yang berubah lagi menjadi senang. Dengan harapan ini adalah surat yang
dinanti-nantikannya. Benar sekali, ini dia surat itu. Sangat terkejut Reza
ketika besok sudah bisa kerja tanpa direview dulu. Reza teramat senang,
akhirnya yang dulu diimpikan terwujud. Walaupun bukan jadi seorang manajer atau
direktur, dia tetap senang, karena belajarnya selama ini ternyata benar-benar
berguna.
Keesokan harinya, dia tak
menyia-nyiakan waktu, dia bangun pagi sekali. Seperti biasa Reza memang sangat
disiplin, jam kerja mulai jam delapan pagi, tetapi dia sudah siap berangkat
dari jam lima pagi. Dia tak mau membuat bosnya kecewa karena telah menerimanya.
Dia berangkat ke tempat kerja pukul tujuh pagi.
Senang, itulah yang dirasakan Reza
sekarang ini. Angin pagi yang menyejukan badan bertambah karena kesenangan
Reza. Dengan berpakaian serba rapi dan membawa tas kecil hitam dan tak lupa
sepatu pentofel yang telah dibelikan ayahnya itu siap untuk menjadi
saksi bahwa pendidikan itu sangat berguna.
Sesampainya di perusahaan tempat dia
bekerja. Dia bertemu seseorang yang sudah menunggunya di depan pintu. Bukan,
orang itu bukan bosnya, tapi dia adalah orang yang ditemui Reza waktu lalu
ditempat itu. Orang itu menyuruh Reza untuk segera masuk keruang bos yang
berada dilantai tiga gedung itu. Senang rasanya bisa bertemu dengan bos
perusahaan ini. Dalam hati Reza, orang yang menjadi bos ditempat ini pasti
orang hebat, cerdas, dan pastinya berpendidikan.
Sesampainya di ruangan bos itu. Reza
terkejut, ruangannya begitu rapi, bersih, dan luas tentunya. Dia berfikir,
rumahnya saja tak seluas ruangan itu. Beberapa menit kemudian, ada yang datang.
Reza terkejut, dia mengira bahwa itu bosnya. Tapi, kok pakaiannya seragam officeboy.
Ternyata bukan, dia memang officeboy yang mengantarkan kopi untuknya dan
bos besar itu.
Sudah setengah jam Reza menunggu,
sampai kopinya sudah dingin. Bos perusahaan itu belum juga datang. Reza
berfikir bahwa bos itu tidak disiplin waktu. Sampai pada akhirnya datang dua
orang yang membukakan pintu, terkejut Reza, karena pintu hanya dibuka dan dua
orang tersebut tidak masuk kedalam.
Ternyata
benar, bos itu memang orang yang hebat. Untuk membuka pintu saja menyuruh orang
lain. Tak lama setelah pintu terbuka lebar, seseorang yang berperawakan besar,
memakai jas hitam dan memakai kaca mata hitam, tanpa memakai dasi. Kaget,
itulah yang dirasakan Reza, ternyata orang itu adalah Hamid teman SMA nya dulu
yang dua kali tidak naik kelas. Heran sekaligus tak percaya. Karena mana
mungkin orang yang tak cerdas itu bisa jadi seorang yang hebat seperti ini,
memiliki perusahaan yang besar ini. Ternyata, itu semua karena ayah Hamid
adalah pemilik perusahaan ini dulunya, dan Hamid berhasil memiliki perusahaan
ini karena ayahnya sudah meninggal. Sungguh mujur nasib Hamid, itu yang mungkin
ada difikiran Reza. Dan memang benar uang itu bisa mengalahkan otak yang
cerdas, dan kehidupan memang tak selalu dengan doa, uang yang bicara. Nasib
mujur seseorang dapat dilihat dari ayahnya, uang, dan rumahnya. Kehidupan yang
semestinya adalah orang sukses itu dari sebuah sarjana, ternyata tidak benar.
Karena ada faktor lain yang membuat orang itu sukses, selain doa, akal, dan
usaha. Yaitu adalah uang.
Komentar
Posting Komentar