Begini Cara Mudah Buat Daftar Isi di Word

Gambar
Hai guys... Apa kabar, ketemu lagi nih, dengan saya yang  kali ini akan memberikan tips tentang bagaimana membuat daftar isi tanpa perlu repot naik turun halaman, hehehe. Mungkin kalian sering ya buat daftar isi mesti naik turun halaman, dan mencari dulu hlaman keberapa. Aduh... masih jaman yang kaya begituan? Serius nih, kalau kalian masih kekeh dengan cara itu, okelah kalau dokumen kalian cuma 10 lembaran. Lah kalau ratusan? Repot deh... Hehehe.. Oleh karenanya, kalian perlu mengupgrade cara buat daftar isi nih, agar tak repot. Oke, langsung saja simak penjelasan berikut: 1. Sudah pasti buka dulu Ms. Word kalian, atau dokumen yang ingin kalian beri daftar isi. Dibawah     saya kasih contoh yang masih kosong, jadi saya hanya memberikan BAB I, BAB II, BAB III, dan     seterusnya saja. Soal isi, nanti lah ya... (ane belum waktunya bikin skripsi soalnya, hehehe) 2. Selanjutnya jangan lupa beri halamannya guys, dengan cara pilih toolbar, lalu pilih - inse...

Tak Butuh Sarjana

Oleh : Muhammad Arsyad


    Sudah tiga bulan, sejak lulus S1 Fakultas Ekonomi di salah satu Universitas di luar kota Reza belum kunjung mendapat pekerjaan. Bukan malas mencarinya, Reza sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kerja. Tetapi sampai sekarang dia masih nganggur. Bekal S1 ekonominya tidak bisa di jadikan andalan bagi dirinya untuk melamar kerja. Ia putus asa dan sampai akhirnya dia memutuskan untuk kuliah S2 diluar kota, yang diharapkan olehnya adalah bisa mencari ilmu sebagai tambahan bekal agar ia dapat bekerja.

   Namun, keinginan Reza berbanding terbalik dengan ayahnya. Pak Hendro, ayah Reza tidak menyetujui keinginan Reza itu. Dia tidak ingin anaknya menganggur untuk selamanya. Yang pak Hendro inginkan adalah anaknya bisa bekerja, itu saja. Mengingat ayahnya tidak menyetujui keinginannya, Reza termenung. Dalam benaknya, apalah yang bisa dilakukan oleh seorang S1 seperti dirinya, dia menganggap bahwa di tempatnya sudah tidak membutuhkan orang yang berpendidikan. Dia melihat keluar, banyak orang yang hanya lulusan SD sudah bekerja di kios pak Doni. Bukan menjadi pelayan kios atau bahkan bagian pemasaran. 

   Namun, orang lulusan SD yang bekerja di kios itu hanyalah seorang pengangkat barang dari truk ke gudang, itu saja. Sejenak, Reza berfikir kembali. Dia ingin seperti mereka. Jadi pengangkat barang. Namun, keinginan tersebut malah ditentang lagi oleh ayahnya.
“Kamu itu siapa? Sekolah dimana?” kata pak Hendro sambil menaruh koran yang sedang dibaca.
“Maksud bapak apa?” Reza menjawab dengan pelan.
“Dengar! Percuma kamu saya sekolahkan sampai S1. Untuk apa S1, jika akhirnya kamu hanya jadi kuli! Pikirkan nak, apa kau tidak malu? Jika memang begitu, kamu bapak usir dari sini!!” pak Hendro berkata dihadapan Reza dengan menunjuk pintu akan mengusirnya.
Mendengar apa yang dikatakan ayahnya itu, Reza kembali termenung. Dalam benaknya dia berfikir “Kehidupan memang suram bagi seorang sarjana” dia hampir menyesal karena terlalu lama menempuh pendidikan. Kehidupannya suram, tak tahu jalan keluar. Yang bisa dilakukannya hanya termenung saja, tidak ada yang lain.

    Dulu Reza memang anak yang sangat cerdas, dia selalu rangking satu. Mungkin, karena dulu pada waktu sekolah dia selalu sukses, dan sekarang dia hancur karena kesuksesan telah diraihnya dulu pada waktu bersekolah dan kuliah. Hidupnya sekarang ini tidak memiliki arah, entah mau kemana. Pendidikan tak mampu membuatnya sukses sampai sekarang.
Sejenak dia memikirkan nasib teman-temannya sekolah. Dia mulai berpikir bahwa teman-temannya juga seperti dia. Dia mulai berpikir bahwa semua orang yang berpendidikan itu tidak berguna.
Pada suatu saat, dia menonton tv. Reza amat sangat terkejut temannya ada di dalam siaran tv, dan menjadi pembawa berita di acara yang dia tonton. Melihat hal tersebut dia langsung lari, mengambil ijazahnya dan mencoba mencari kerja. Didalam perjalanan, dia berubah fikiran, ternyata orang cerdas berguna di tv.

    Dia langsung mencari pekerjaan dan benar saja, ini hari keberuntungannya. Tertulis di muka pintu “Lowongan Kerja untuk bagian administrasi”. Wah, senang sekali hatinya sambil tersenyum dia membuka pintu dan bertemu dengan salah satu karyawan.
“Maaf mas, saya lihat di depan, disini membutuhkan tenaga kerja bagian administrasi. Kalau boleh tahu gimana caranya?” Reza bertanya dengan salah satu karyawan.
“Oh ya. Mas masuk di ruang itu saja!” kata karyawan itu sambil menunjukkan pintu ruangan sebelah selatan.
Dengan tetap tersenyum, wajahnya sumringah. Reza tetap berwibawa ketika akan bertemu pemilik perusahaan itu. Dan sampailah dia didepan seseorang yang sedang telpon.
“Permisi...” Reza mengetuk pintu, lalu membukanya.
“Ya, masuk!” kata seseorang didalam ruang itu.
Reza memutuskan untuk masuk, dia dipersilahkan duduk oleh seseorang yang tidak dikenalnya.
“Maaf pak, bapak ini pemilik perusahaan ini ya?” Reza bertanya pada orang dihadapannya.
“Duduk dulu mas!” kata orang itu.
Reza pun duduk di hadapan kursi besar, namun kursi yang dia duduki tidak besar.
“Anda mau jadi karyawan bagian administrasi?” tanya orang itu.
“Iya, maaf. Kalau mau ketemu bosnya dimana?” Reza bertanya.
“Kalau mau, saya yang ngurus. Tidak perlu dengan pak bos. Karena saya sudah diamanati untuk menerima karyawan baru. Mana persyaratannya?” jawab orang itu.
“Ini” jawab Reza sambil menarung brangkas.
“Sudah, nanti saya kirim persetujuannya.” Kata orang itu dan mempersilahkan keluar.

    Dengan wajah penuh harapan. Reza senang sekali, kini dia hanya mampu berharap dia bisa diterima disana. Dalam perjalanan menuju rumah, dia tak sabar untuk memberitahukan kabar baik ini kepada ayahnya, dan ingin tahu apakah ayahnya senang atau tidak.
Sesampainya dirumah, Reza memarkirkan motornya dihalaman. Reza mengetuk pintu, dia berbicara dengan ayahnya. Betapa senangnya Reza ketika melihat ayahnya tersenyum mendengar berita itu.
Sekarang sudah berubah, Reza tak lagi murung. Dia sangat bersiap-siap untuk bekerja suatu hari nanti. Harapannya hanya ini, tak ada yang lain. Mungkin inilah berkahnya menuntut ilmu selama ini, tak ada yang mengatakan ilmu itu tak berguna. Reza membuktikannya, dengan bertekad baja, tak ada yang bisa menghentikannya. Doa selalu ia panjatkan kepada Tuhan agar semua cita-citanya tercapai dengan lancar.
Dua hari telah berlalu, surat persetujuan belum juga datang dikirim kerumah. Kecemasan Reza membeludak. Dia tak kuasa menahan dirinya yang terus mondar-mandir keluar masuk rumah, tak tahu apakah diterima apa tidak. Sore ini memang indah, angin bertiup sepoi-sepoi, tapi tidak untuk Reza, angin yang semilir ini dibayangkannya bak nasibnya yang tak tahu kemana.

   Sudah pukul lima sore. Tak ada yang datang mengantarkan surat persetujuan, wajah Reza mulai layu, dia resah tak karuan rasanya. Keadaannya ini dirasakan bak minum obat dan langsung sakit. Namun, Reza tak putus berdoa. Tak mau berfikir yang tidak-tidak. Dan mandi adalah salah satu jalan untuk tidak bingung.
Ketika Reza sedang mandi, terdengar dari dalam kamar mandi suara motor berhenti, dan orang mengetuk pintu. Dalam hatinya, itu pasti orang yang mengantarkan surat itu. Dengan cepat dia menyelesaikan mandinya. Segera dia masuk kamar untuk ganti baju. Dia semangat sekali, tak ada yang bisa mengalahkan senyumnya yang lebar.

     Selesai dia ganti baju, dia tanyakan tentang orang yang mengetuk pintu tadi kepada ayahnya. Dan dia sangat terkejut, benar-benar kaget tiada terkira, wajahnya yang tadi di kamar mandi berubah drastis, dia tak menyangka apa yang diharapkannya itu ternyata bukan. Ternyata orang tadi adalah pak Sen, tetangga sebelah yang mengirimkan undangan khitanan anaknya. Lalu, darimana suara motor tadi?. Dan ternyata, ketika Reza keluar, suara motor tadi datang dari orang yang berhenti didepan toko.

     Memang sulit menunggu harapan, tak semua orang bisa meraihnya. Mungkin ada, tapi jarang ada orang yang langsung terwujud harapannya. Reza tetap tak putus harapan, dia selalu berdoa dengan sungguh-sungguh, karena hanya itu yang dapat dia lakukan. Kehidupan memang membutuhkan doa.
Hari sudah mulai gelap, suara adzan maghrib berkumandang merdu yang terenyuh diantara kegelisahan Reza. Adzan yang harusnya membawa senang dan suka cita, kini membawa gelisah dan khawatir bagi seorang Reza. Tak mau terus bingung Reza pun pergi untuk sholat maghrib bersama ayahnya di mushola seberang jalan raya diluar kampung.

Ketika selesai sholat, Reza langsung kerumahnya, dan masih tetap berharap. Tak ada setengah jam dia sampai rumah. Ada suara orang mengetuk pintu, namun kali ini tanpa suara motor atau mobil. Reza mengira ini hanya tetangga yang mau perlu dengan ayah.
“Reza... Reza... Assalamualaikum!” teriak orang yang mengetuk pintu.
“Ayah saja yang membukakannya!” Reza meminta ayahnya yang membukakan pintu itu.
“Ya, sebentar!” kata pak Hendro berteriak dari dalam.
“Oh, bu Wati. Ada apa bu?” pak Hendro membuka pintu dan kaget.
“Ini pak, ada surat. Katanya sih untuk Reza” kata Bu Wati sambil memberikan surat itu.
“Dari siapa bu?” tanya pak Hendro sambil menerima surat itu.
“Saya kurang tahu, tadi pas saya lewat ada mobil yang berhenti didepan rumah bapak, dan orang itu pakai jas.” Jawab bu Wati.
“Oh, ya sudah. Makasih bu.” Jawab pak Hendro.
“Ya, sama-sama. Saya pergi dulu ya, assalamualaikum” kata bu Wati sambil tersenyum.
“Waalaikumsalam” jawab pak Hendro.
Setelah surat itu ada ditangan pak Hendro. Pak hendro akan memberikannya pada Reza.
“Za... Reza!!” teriak pak Hendro.
“Iya pak” teriak Reza dari dalam.
“Ini” kata pak Hendro sambil memberikan surat itu.
“Ini dari siapa?” Reza bertanya.
“Tak tahu, katanya sih dari orang yang memakai jas.” Jawab pak Hendro.

    Dengan hati yang berubah lagi, wajah yang berubah lagi menjadi senang. Dengan harapan ini adalah surat yang dinanti-nantikannya. Benar sekali, ini dia surat itu. Sangat terkejut Reza ketika besok sudah bisa kerja tanpa direview dulu. Reza teramat senang, akhirnya yang dulu diimpikan terwujud. Walaupun bukan jadi seorang manajer atau direktur, dia tetap senang, karena belajarnya selama ini ternyata benar-benar berguna.
Keesokan harinya, dia tak menyia-nyiakan waktu, dia bangun pagi sekali. Seperti biasa Reza memang sangat disiplin, jam kerja mulai jam delapan pagi, tetapi dia sudah siap berangkat dari jam lima pagi. Dia tak mau membuat bosnya kecewa karena telah menerimanya. Dia berangkat ke tempat kerja pukul tujuh pagi.

    Senang, itulah yang dirasakan Reza sekarang ini. Angin pagi yang menyejukan badan bertambah karena kesenangan Reza. Dengan berpakaian serba rapi dan membawa tas kecil hitam dan tak lupa sepatu pentofel yang telah dibelikan ayahnya itu siap untuk menjadi saksi bahwa pendidikan itu sangat berguna.
Sesampainya di perusahaan tempat dia bekerja. Dia bertemu seseorang yang sudah menunggunya di depan pintu. Bukan, orang itu bukan bosnya, tapi dia adalah orang yang ditemui Reza waktu lalu ditempat itu. Orang itu menyuruh Reza untuk segera masuk keruang bos yang berada dilantai tiga gedung itu. Senang rasanya bisa bertemu dengan bos perusahaan ini. Dalam hati Reza, orang yang menjadi bos ditempat ini pasti orang hebat, cerdas, dan pastinya berpendidikan.

    Sesampainya di ruangan bos itu. Reza terkejut, ruangannya begitu rapi, bersih, dan luas tentunya. Dia berfikir, rumahnya saja tak seluas ruangan itu. Beberapa menit kemudian, ada yang datang. Reza terkejut, dia mengira bahwa itu bosnya. Tapi, kok pakaiannya seragam officeboy. Ternyata bukan, dia memang officeboy yang mengantarkan kopi untuknya dan bos besar itu.
Sudah setengah jam Reza menunggu, sampai kopinya sudah dingin. Bos perusahaan itu belum juga datang. Reza berfikir bahwa bos itu tidak disiplin waktu. Sampai pada akhirnya datang dua orang yang membukakan pintu, terkejut Reza, karena pintu hanya dibuka dan dua orang tersebut tidak masuk kedalam.

      Ternyata benar, bos itu memang orang yang hebat. Untuk membuka pintu saja menyuruh orang lain. Tak lama setelah pintu terbuka lebar, seseorang yang berperawakan besar, memakai jas hitam dan memakai kaca mata hitam, tanpa memakai dasi. Kaget, itulah yang dirasakan Reza, ternyata orang itu adalah Hamid teman SMA nya dulu yang dua kali tidak naik kelas. Heran sekaligus tak percaya. Karena mana mungkin orang yang tak cerdas itu bisa jadi seorang yang hebat seperti ini, memiliki perusahaan yang besar ini. Ternyata, itu semua karena ayah Hamid adalah pemilik perusahaan ini dulunya, dan Hamid berhasil memiliki perusahaan ini karena ayahnya sudah meninggal. Sungguh mujur nasib Hamid, itu yang mungkin ada difikiran Reza. Dan memang benar uang itu bisa mengalahkan otak yang cerdas, dan kehidupan memang tak selalu dengan doa, uang yang bicara. Nasib mujur seseorang dapat dilihat dari ayahnya, uang, dan rumahnya. Kehidupan yang semestinya adalah orang sukses itu dari sebuah sarjana, ternyata tidak benar. Karena ada faktor lain yang membuat orang itu sukses, selain doa, akal, dan usaha. Yaitu adalah uang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peci Kakek

Ingat Kazuki Ito? Kenapa Gamers Sepak Bola Banyak Yang Tidak Suka? Ini Ceritanya.

Mengenal Angkringan, Sekedar Ngopi Atau Mau Sambil Diskusi Juga Boleh, Murah Lagi..