Oleh : Muhammad Arsyad
Judul : Soekarno, Islam dan Nasionalisme
Penulis : Dr. Badri Yatim
Penerbit : PT LOGOS WACANA ILMU
Tahun terbit : 1999
Kota terbit : Jakarta
Tebal Halaman : 196 halaman
Ukuran : 15 x 21 cm
ISBN : 979-628-005-7
Soekarno, siapa yang tidak tahu dia. Presiden pertama Republik Indonesia ini telah mempengaruhi banyak orang, bahkan Soekarno mampu mempengaruhi dunia dengan ajarannya. Soekarno dengan teguh memegang tiga ideologinya, yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Ketiga hal tersebut tertanam secara mendalam dalam diri sang proklamator tersebut, bahkan bisa dibilang dialah aktor dari berkembangnya aliran Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Namun, ketiga aliran itu justru sedang berpolemik, terutama Islam. Di dalam buku ini sangat terang dijelaskan bahwa Soekarno bercita-cita untuk menyatukan ketiga aliran tersebut, dan muncullah aliran Marhaenisme.
Sebagai seorang yang dilahirkan di Jawa, tentunya Soekarno banyak terpengaruh dari budaya tradisional Jawa. Kebudayaan Jawa yang bersifat sinkretisme tentu membentuk kepribadian Soekarno. Sinkretisme yang memungkinkan orang-orang Jawa memadukan apa-apa yang baik dari dirinya, dan apa-apa yang dianggap baik dari luar, mau tak mau tertanam pada diri Soekarno. Selain terpangaruh ajaran dari tanah kelahirannya, Soekarno juga telah terpengaruh oleh budaya Barat, hal itu tak lepas dari peran Soekarno yang menimba ilmu di Barat. Beliau memperoleh pendidikan barat yang sering dikatakan sebagai pendidikan sekular tak pelak telah mendarat di sanubari Soekarno.
Dari kedua haluan itu, Soekarno mencoba memadukan dan muncullah aliran Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Beliau telah menghilangkan filosofi Materialisme dari Marxisme, lalu diberinya Tuhan. Sebagai seorang muslim yang juga berpendidikan sekuler, Soekarno berpendapat bahwa Islam adalah agama yang rasional, agama yang menganut prinsip sama rata-sama rasa, agama yang membawa ajaran demokrasi, dan agama yang mendorong umatnya untuk maju. Karena menurutnya, hukum-hukum Islam bersifat fleksibel, dan selalu dapat disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Untuk menghidupkan rasionalisme dalam islam, sebagaimana masa lalunya, ia menghimbau agar Hadist tidak diberi harga mutlak. Pemahaman ajaran Islam tidak dari teks Al-Qur’an dan Hadist, tetapi dari jiwa dan api Islam, karena mungkin saja penerapan hukum Islam sesuai dengan hukum-hukum syariat dan fiqih dengan meninggalkan jiwa Islam, dan agar umat Islam banyak belajar dari Barat. Atas dasar itulah, Soekarno kemudian berbicara banyak hal dalam islam, mulai dari masalah politik hingga masalah tabir. Namun, dari pemikirannya tak sepenuhnya diterima dengan baik oleh para pelaku organisasi atau pergerakan saat itu.
Soekarno juga aktor dibalik munculnya Pancasila. Pancasila yang dirumuskannya pun sangat fleksibel. Walaupun dia muslim, dia lebih mementingkan nasionalisme dan perbedaan yang ada di masyarakat. Ada lima asas yang diinginkannya :
1. Kebangsaan Indonesia,
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan,
3. Mufakat atau demokrasi,
4. Kesejahteraan Sosial,
5. Ketuhanan.(lihat:hlm.160)
Ketuhanan yang dimaksudkan Soekarno bukanlah ketuhanan dalam konsep Islam. Ia hanya menganjurkan agar seluruh warga Indonesia berketuhanan, dan seluruh warga bebas menjalankan agamanya masing-masing, serta saling menghormati satu sama lain. Hal itu secara langsung membantah bahwa Soekarno sebagai orang Islamis apalagi Komunis. Dengan kelima asas dari buah pikirannya itu, menunjukan bahwa dia ingin menyatukan rakyat Indonesia yang berbeda aliran itu. Namun, cita-citanya ini tak berjalan mulus, banyak tantangan dan halangan yang harus dihadapi, dan Soekarno secara gagah telah mebuktikan semua ucapannya itu.
Soekarno sering menafsirkan hukum-hukum Islam secara rasional tanpa batas. Oleh karena itu, tolok ukur kebenaran dalam Islam bukanlah teks Al-Qur’an, tetapi penafsiran rasio terhadap teks itu. Oleh karena itulah, tolok ukur kebenaran dipisahkannya agama dari negara bukanlah Al-Qur’an atau Hadist, tetapi ia menunjukan bahwa sejarahlah yang akan menentukan kebenarannya. Apabila sejarah menunjukan kemajuan negara dan agama dalam keterpisahan itu, maka benarlah pendapatnya. Tetapi bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka pendapatnya dianggap keliru dan patut ditinjau kembali.
Penulis menjelaskan secara terperinci, mengenai bagaimana peran Soekarno sebelum dan sesudah kemerdekaan. Penjelasan sejarah yang lengkap membuat pemahaman terhadap Soekarno akan lebih mudah. Sejarah yang terkuak pun bermunculan, mulai dari pandangan Soekarno terhadap kebudayan Timur dan Barat, hingga pandangannya sebagai seorang Nasionalis dan Marxisme. Bahkan, hingga perdebatannya dengan para tokoh, termasuk tokoh-tokoh Sarekat Islam.
Soekarno tetap menilai dan mecoba berkaca pada budaya barat, dan dia mencoba untuk mempraktekannya di Indonesia. Termasuk mencoba memadukan antara negara dengan agama. Walaupun begitu, usahanya ini banyak menuai reaksi, salah satunya dari para tokoh Islam, yang ingin menjadikan Indonesia negara Islam. Namun, Soekarno menanggapinya dengan dingin. Menurutnya, dengan sistem demokrasi, umat Islam yang mayoritas ini dapat berjuang untuk menguasai kursi-kursi parlemen dan menentukan kebijakan-kebijakan dan hukum-hukum negara. Bila hal ini tercapai, menurut Soekarno, inilah yang dimaksud persatuan agama dan negara dalam pengertian dan sebenarnya. Sebab Islam tidak menginginkan cap resmi “negara Islam”. Tetapi bila hal ini tidak tercapai, maka masyarakat Indonesia belumlah masyarakat Islam.
Demikianlah pendapat Soekarno tentang Islam dan Nasionalisme, yang menurutnya merupakan hasil ijtihad dalam rangka rethingking of Islam. Semua terangkum secara ciamik dalam buku ini, sejarah yang dimunculkan membuat pembaca seolah lebih dekat dengan sang presiden pertama Indonesia ini. Penggunaan diksi yang luar biasa dan pengalaman penulis saya kira menjadi suatu pemacu sehingga buku ini bisa mampu secara apik menampakkan pandangan seorang Soekarno.
Komentar
Posting Komentar