|
Sumber : bintang.com |
Siapa
Aku? Diriku yang nampak seperti orang lusuh tak bernyawa. Membuat aku terkesan
seperti orang yang tak punya akal. Teman-temanku dari TK hingga SMA memiliki
wajah yang rupawan, cantik, dan keren. Hidup mewah dan bermegah, serta memiliki
banyak kolega, itulah yang semua orang inginkan. Begitu pula diriku, hidupku
yang sebenarnya serba cukup, tapi serasa tidak punya apa-apa ini juga ingin merasakan
seperti orang berdasi itu. Tak pernah merasakan panas walau terik matahari di atas
kepala, dan tak pernah kehujahan walau hujan telah hadir. Bergelimang harta,
serta wanita cantik sudah menjadi bulan-bulanan para manusia modern itu.
Seolah
mencari formula terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang sepakat dengan kata
mapan. Aku berpikir bagaimana orang-orang sukses di luaran sana bisa sesukses
itu dengan mudah, semudah membalikan tangan. Mereka yang sukses itu banyak yang
memang berasal dari keturunan manusia hartawan. Tapi, seiring yang aku pernah
jumpai, orang yang sukses tak hanya mengandalkan harta warisan. Mereka yang tak
terlahir dengan sebongkah emas pun lantas bisa menjadi orang sukses. “Mereka
itu punya ilmu,” kata seluruh guru yang pernah mengajarkanku. Namun, apakah
hanya ilmu yang bisa memberikan setiap orang istilah sukses? Itulah yang aku
pikirkan. Lantas jika yang dikatakan guruku benar, mengapa diriku yang sudah
berkali-kali mendapat rangking tak kunjung menemui suatu tanda kesuksesan?.
Bukannya mau membusungkan dada, menoreh sejarah yang aku ukir, walaupun tak di atas
batu atau kertas dan tak ada orang yang tahu itu. Aku berhasil mendapat nilai di
atas rata-rata dari setiap pelajaran. Tapi, aku belum pernah menemukan tanda
kesuksesan.
Waktu
berjalan cukup lama. Tapi, yang aku rasakan waktu berjalan sangat cepat. Aku
sekarang sudah mulai memakai seragam SMA. Sungguh luar biasa, tak pernah aku
kira zaman SMA serumit ini. Aku masih mencari-cari formula yang dulu aku ingin
cari. Di SMA, aku menemui orang dengan
berbagi jenis watak dan kebiasaannya, juga aku temukan gadis yang cantik, dan
saat itulah pertama kalinya aku benar-benar jatuh cinta. Namun, bukan
itu yang ingin aku lanjutkan ceritanya, mungkin orang seperti diriku ini tak
pantas bersanding dengan gadis secantik dia di samping janur kuning nanti,
selain itu aku tidak ahli dalam kasus percintaan, terlebih karena aku orang
yang pemalu.
Hari-hariku
di SMA sangat mengasyikan sekaligus membuat kepala pusing, tugas dari guru yang
hampir tiap hari menjadi sarapan yang harus aku telan dan aku muntahkan
kembali. Aku sebenarnya tak begitu keberatan jika mengerjakan tugas dari
guru-guru itu, yang membuatku sedikit memutar otak adalah ketika membuat
makalah. Tidak aku permasalahkan jika tugasnya hanya mengetik lantas
dikumpulkan. Tapi lebih dari itu. Guru sering memberikan tugas makalah dan
hasilnya harus dipresentasikan di depan kelas. Saat pertama kali aku
diberikan tugas yang rupa demikian, aku sempat shock, seperti mendengar
kabar orang yang meninggal. Beruntung, kala itu tugas diberikan untuk satu
kelompok. Tentu aku lebih memilih tugas untuk mengetikkan makalahnya, daripada
mempresentasikannya di depan kelas.
Masih
menjadi diriku yang pemalu, dan masih dengan tugas makalah dan presentasi. Aku
masih bisa mengelak dari beban bicara di depan kelas. Hingga suatu saat, diriku
mau tidak mau harus mempresentasikan tugas di depan kelas. Saat presentasi
tiba, kakiku gemetar seolah masuk dalam ruangan yang sangat dingin, tanganku
seolah membatu, dan keringat sudah memaksa keluar. Namun, aku mencoba untuk
tenang. Mungkin, yang mengalami kejadian sama sepertiku banyak, termasuk kamu.
Siapa yang tahan dan tenang ketika disuruh berbicara di depan kelas untuk pertama
kalinya.
Masih
dengan kondisi seperti orang mau meninggal, diriku kaku duduk di bangku saat
itu menunggu giliran maju ke depan. Nomor absenku tak terlalu awal dan tak
terlalu akhir, mungkin bisa dibilang di tengah. Untuk itulah, diriku ini
ketar-ketir seperti orang kehilangan arah. Temanku yang duduk di sampingku tak
merasakan apa yang diriku ini rasakan, walau sebenarnya secara mimik muka dia
sanggup merasakan itu. Nomor absen yang dipanggil perlahan menembus telingaku,
suara guru itu seakan jalan menuju sumber kegelisahan semakin dekat. Angka demi
angka yang terucap seolah nomor urut kematian bagiku. Murid-murid lain yang sudah
selesai menjalankan misinya nampak lega, seolah mencium harum bunga mawar.
Berbeda denganku, kondisiku saat ini berbanding terbalik dengan mereka, diriku
seperti berada diatas tumpukan batang bunga mawar.
Setelah
ini absen sebelas, dan siswa dengan kesadaran nomor absennya ketika dipanggil
pun maju ke depan. Tak terasa sudah semakin dekat dengan nomor absenku.
Mendengarkan siswa lain mempresentasikan tugasnya menambah kecemasan dalam
tubuhku. Aku ingin izin ke kamar mandi, tapi hal itu kurasa sia-sia, tak ada
pengaruhnya, mau bagaimana pun aku akan berbicara di depan kelas saat itu.
“Muhammad Abdul Azis,” suara guru dengan lantang memanggil siswanya untuk
kedepan. Astaga, dia absen empat belas, dan setelah ini aku. Kacau, ini
benar-benar kacau. Sontak wajahku berubah agak pucat, dan gemetar kakiku
semakin kencang.
Tak
berselang lama, guru memanggil namaku. Sontak diriku kaget, gemetar di kakiku
sudah tidak bisa dikendalikan, dan keringat sudah menyapa pori-poriku. Perlahan
aku maju kedepan, melihat teman-temanku seolah aku melihat tentara yang siap
melucutiku dengan senjata mereka. Maju dengan pesimis, hanya itu bekal yang aku
punya. Makalah yang aku pegang seketika lengket menempel di telapak tanganku.
Bukan lengket karena lem ataupun plester. Tapi, itu karena keringat yang keluar
dari pori-poriku secara cepat membasahi tanganku. Kaki masih bergetar, dan
keringatku hampir tak bisa aku tahan. Aku harus menyelesaikannya secara cepat.
Teman-temanku yang ada seakan mencibir diriku yang kelihatan seperti orang lugu
ini di belakang.
Perlahan
namun pasti, kejadian memuakkan itu telah berlalu, aku selesai melaksanakan
misi tingkat dewa ini. Setelah itu, aku ditertawakan seluruh penghuni kelas.
Temanku pun heran mengapa aku sedemikian takutnya untuk bicara di depan kelas.
Aku hanya diam, tak ada sepatah dua patah pun keluar dari mulutku. Kejadian
memalukan itu selesai. Aku sudah melaluinya, dan harapanku kejadian yang serupa
tak akan terjadi lagi.
Hari-hari
berlangsung cukup aneh, diriku masih belum menemukan apa yang ingin aku cari.
Aku masih duduk dibangku SMA, tapi rasa takutku akan berbicara di depan orang
banyak masih mendera. Tugas-tugas yang diberikan oleh guru-guru itu ada
beberapa yang disertai dengan presentasi, dan aku pun harus melakukan itu.
Menahan rasa takut, sudah menjadi kewajiban bagiku. Lama kelamaan aku mencoba
untuk menghilangkan rasa takut berbicara di depan orang banyak.
Suatu
saat, entah mengapa aku harus terjebak dalam sebuah organisasi sekolah yaitu Pramuka.
Sebenarnya aku tidak mau menjadi pramuka, karena itu memuakkan. Namun, apalah
dayaku, nasi sudah menjadi bubur. Aku harus melakoninya. Masuk di Pramuka tidak
terlalu buruk, setidaknya bisa membuat aku memiliki banyak teman. Selain itu,
aku juga dilatih agar bisa berbicara di depan umum. Awalnya aku belum bisa
menghilangkan rasa takutku itu, dan masih berkeringat kalau bicara di depan
orang banyak. Namun, lambat laun aku pun mulai menanggalkan ketakutan itu. Aku
mulai bisa menahan rasa takutku, sampai pada akhirnya aku mulai tak ragu lagi
untuk bicara di depan orang banyak.
Tiga
tahun berada di SMA serta sempat mengenyam pendidikan pramuka disana membuat
diriku sudah tidak malu lagi untuk berbicara dihadapan orang banyak. Aku sudah
meninggalkan SMA dan beralih ke Perguruan Tinggi. Karena aku orangnya tidak
suka ribet, aku tidak mengikuti jejak teman-temanku yang kalang kabut ingin
masuk Perguruan Tinggi favorit. Kemampuanku sudah aku timbang, dan masuk
Perguruan Tinggi favorit seakan mustahil bagi diriku. Jika kalian menganggap
aku orang yang pesimis, terserah. Tapi yang jelas aku tidak ingin mencari-cari
kesempatan yang sulit tercapai. Ibarat kata “kalau kamu bisa mencapai hal yang
mudah, mengapa harus mencapai yang sulit.”
Aku
masuk di Perguruan Tinggi terdekat dari rumahku, jaraknya tak lebih dari satu
kilometer. Bahkan aku sering melihat gedungnya. Kata ibuku,”kuliah tidak perlu
jauh-jauh.” Dia benar, dan aku senada dengan ucapannya. Menurutku, kuliah ke
luar kota butuh biaya banyak, dan orang tuaku tak sanggup membiayaiku ke luar
kota. Lagipun, aku tidak suka ke luar kota, itu membuat diriku ini jauh dari
rumah.
Jadi
mahasiswa katanya harus bisa bicara di depan publik. Aku tak perlu khawatir,
rasa takutku akan itu sudah aku kubur bersama masa laluku. Kebetulan aku masuk
jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Entah mengapa, aku mengambil jurusan
itu. Yang jelas, aku pernah dinasehati ayahku untuk menjadi ulama, tapi aku
tidak mau. Mungkin karena rasa malu yang mengikat tubuhku saat itu sudah tidak memungkinkan
menjadi ulama atau pendakwah. Tapi, ada hal lain yang mendasari aku masuk
jurusan ini. Pernah aku menonton film, dan salah satu pemeran utamanya itu bisa
sukses tanpa modal apapun, dia hanya masuk perusahaan dan pandai bicara di
depan klien. Dan dia selalu diandalkan untuk presentasi bisnis. Juga saat aku
menonton berita, aku melihat presenternya sangat cerdas dalam berbicara.
Sejak
saat itu, aku pertama kalinya ingin mendalami teknik berkomunikasi yang
benar. Di kuliah, aku kembali menemukan seorang gadis yang cantik, dan itu
benar-benar membuat hatiku gemetar. Kecantikan parasnya ditopang dengan
rajinnya membuat aku jatuh cinta untuk kedua kalinya, tapi yang ini lain.
Rasanya aku ingin segera menyatakan cinta padanya.
Di
Perguruan Tinggi, kehidupanku berubah drastis, dari yang dulunya pemalu menjadi
tidak. Bahkan aku kerap ditunjuk untuk presentasi tugas. Selain itu, dengan
masuknya aku ke dalam salah satu organisasi intra kampus menambah kepercayaan
diriku. Sekarang, aku sudah tidak lagi merasa gemetar dan berkeringat ketika harus
bicara di depan umum. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Aku belum bisa
mengungkapkan rasa cintaku pada gadis itu.
Komentar
Posting Komentar