Begini Cara Mudah Buat Daftar Isi di Word

Gambar
Hai guys... Apa kabar, ketemu lagi nih, dengan saya yang  kali ini akan memberikan tips tentang bagaimana membuat daftar isi tanpa perlu repot naik turun halaman, hehehe. Mungkin kalian sering ya buat daftar isi mesti naik turun halaman, dan mencari dulu hlaman keberapa. Aduh... masih jaman yang kaya begituan? Serius nih, kalau kalian masih kekeh dengan cara itu, okelah kalau dokumen kalian cuma 10 lembaran. Lah kalau ratusan? Repot deh... Hehehe.. Oleh karenanya, kalian perlu mengupgrade cara buat daftar isi nih, agar tak repot. Oke, langsung saja simak penjelasan berikut: 1. Sudah pasti buka dulu Ms. Word kalian, atau dokumen yang ingin kalian beri daftar isi. Dibawah     saya kasih contoh yang masih kosong, jadi saya hanya memberikan BAB I, BAB II, BAB III, dan     seterusnya saja. Soal isi, nanti lah ya... (ane belum waktunya bikin skripsi soalnya, hehehe) 2. Selanjutnya jangan lupa beri halamannya guys, dengan cara pilih toolbar, lalu pilih - inse...

Berbicara Dalam Pencarian



Sumber : bintang.com
 
Siapa Aku? Diriku yang nampak seperti orang lusuh tak bernyawa. Membuat aku terkesan seperti orang yang tak punya akal. Teman-temanku dari TK hingga SMA memiliki wajah yang rupawan, cantik, dan keren. Hidup mewah dan bermegah, serta memiliki banyak kolega, itulah yang semua orang inginkan. Begitu pula diriku, hidupku yang sebenarnya serba cukup, tapi serasa tidak punya apa-apa ini juga ingin merasakan seperti orang berdasi itu. Tak pernah merasakan panas walau terik matahari di atas kepala, dan tak pernah kehujahan walau hujan telah hadir. Bergelimang harta, serta wanita cantik sudah menjadi bulan-bulanan para manusia modern itu. 

Seolah mencari formula terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang sepakat dengan kata mapan. Aku berpikir bagaimana orang-orang sukses di luaran sana bisa sesukses itu dengan mudah, semudah membalikan tangan. Mereka yang sukses itu banyak yang memang berasal dari keturunan manusia hartawan. Tapi, seiring yang aku pernah jumpai, orang yang sukses tak hanya mengandalkan harta warisan. Mereka yang tak terlahir dengan sebongkah emas pun lantas bisa menjadi orang sukses. “Mereka itu punya ilmu,” kata seluruh guru yang pernah mengajarkanku. Namun, apakah hanya ilmu yang bisa memberikan setiap orang istilah sukses? Itulah yang aku pikirkan. Lantas jika yang dikatakan guruku benar, mengapa diriku yang sudah berkali-kali mendapat rangking tak kunjung menemui suatu tanda kesuksesan?. Bukannya mau membusungkan dada, menoreh sejarah yang aku ukir, walaupun tak di atas batu atau kertas dan tak ada orang yang tahu itu. Aku berhasil mendapat nilai di atas rata-rata dari setiap pelajaran. Tapi, aku belum pernah menemukan tanda kesuksesan.

Waktu berjalan cukup lama. Tapi, yang aku rasakan waktu berjalan sangat cepat. Aku sekarang sudah mulai memakai seragam SMA. Sungguh luar biasa, tak pernah aku kira zaman SMA serumit ini. Aku masih mencari-cari formula yang dulu aku ingin cari. Di SMA,  aku menemui orang dengan berbagi jenis watak dan kebiasaannya, juga aku temukan gadis yang cantik, dan saat itulah pertama kalinya aku benar-benar jatuh cinta. Namun, bukan itu yang ingin aku lanjutkan ceritanya, mungkin orang seperti diriku ini tak pantas bersanding dengan gadis secantik dia di samping janur kuning nanti, selain itu aku tidak ahli dalam kasus percintaan, terlebih karena aku orang yang pemalu.

Hari-hariku di SMA sangat mengasyikan sekaligus membuat kepala pusing, tugas dari guru yang hampir tiap hari menjadi sarapan yang harus aku telan dan aku muntahkan kembali. Aku sebenarnya tak begitu keberatan jika mengerjakan tugas dari guru-guru itu, yang membuatku sedikit memutar otak adalah ketika membuat makalah. Tidak aku permasalahkan jika tugasnya hanya mengetik lantas dikumpulkan. Tapi lebih dari itu. Guru sering memberikan tugas makalah dan hasilnya harus dipresentasikan di depan kelas. Saat pertama kali aku diberikan tugas yang rupa demikian, aku sempat shock, seperti mendengar kabar orang yang meninggal. Beruntung, kala itu tugas diberikan untuk satu kelompok. Tentu aku lebih memilih tugas untuk mengetikkan makalahnya, daripada mempresentasikannya di depan kelas.

Masih menjadi diriku yang pemalu, dan masih dengan tugas makalah dan presentasi. Aku masih bisa mengelak dari beban bicara di depan kelas. Hingga suatu saat, diriku mau tidak mau harus mempresentasikan tugas di depan kelas. Saat presentasi tiba, kakiku gemetar seolah masuk dalam ruangan yang sangat dingin, tanganku seolah membatu, dan keringat sudah memaksa keluar. Namun, aku mencoba untuk tenang. Mungkin, yang mengalami kejadian sama sepertiku banyak, termasuk kamu. Siapa yang tahan dan tenang ketika disuruh berbicara di depan kelas untuk pertama kalinya.

Masih dengan kondisi seperti orang mau meninggal, diriku kaku duduk di bangku saat itu menunggu giliran maju ke depan. Nomor absenku tak terlalu awal dan tak terlalu akhir, mungkin bisa dibilang di tengah. Untuk itulah, diriku ini ketar-ketir seperti orang kehilangan arah. Temanku yang duduk di sampingku tak merasakan apa yang diriku ini rasakan, walau sebenarnya secara mimik muka dia sanggup merasakan itu. Nomor absen yang dipanggil perlahan menembus telingaku, suara guru itu seakan jalan menuju sumber kegelisahan semakin dekat. Angka demi angka yang terucap seolah nomor urut kematian bagiku. Murid-murid lain yang sudah selesai menjalankan misinya nampak lega, seolah mencium harum bunga mawar. Berbeda denganku, kondisiku saat ini berbanding terbalik dengan mereka, diriku seperti berada diatas tumpukan batang bunga mawar.

Setelah ini absen sebelas, dan siswa dengan kesadaran nomor absennya ketika dipanggil pun maju ke depan. Tak terasa sudah semakin dekat dengan nomor absenku. Mendengarkan siswa lain mempresentasikan tugasnya menambah kecemasan dalam tubuhku. Aku ingin izin ke kamar mandi, tapi hal itu kurasa sia-sia, tak ada pengaruhnya, mau bagaimana pun aku akan berbicara di depan kelas saat itu. “Muhammad Abdul Azis,” suara guru dengan lantang memanggil siswanya untuk kedepan. Astaga, dia absen empat belas, dan setelah ini aku. Kacau, ini benar-benar kacau. Sontak wajahku berubah agak pucat, dan gemetar kakiku semakin kencang. 

Tak berselang lama, guru memanggil namaku. Sontak diriku kaget, gemetar di kakiku sudah tidak bisa dikendalikan, dan keringat sudah menyapa pori-poriku. Perlahan aku maju kedepan, melihat teman-temanku seolah aku melihat tentara yang siap melucutiku dengan senjata mereka. Maju dengan pesimis, hanya itu bekal yang aku punya. Makalah yang aku pegang seketika lengket menempel di telapak tanganku. Bukan lengket karena lem ataupun plester. Tapi, itu karena keringat yang keluar dari pori-poriku secara cepat membasahi tanganku. Kaki masih bergetar, dan keringatku hampir tak bisa aku tahan. Aku harus menyelesaikannya secara cepat. Teman-temanku yang ada seakan mencibir diriku yang kelihatan seperti orang lugu ini di belakang.

Perlahan namun pasti, kejadian memuakkan itu telah berlalu, aku selesai melaksanakan misi tingkat dewa ini. Setelah itu, aku ditertawakan seluruh penghuni kelas. Temanku pun heran mengapa aku sedemikian takutnya untuk bicara di depan kelas. Aku hanya diam, tak ada sepatah dua patah pun keluar dari mulutku. Kejadian memalukan itu selesai. Aku sudah melaluinya, dan harapanku kejadian yang serupa tak akan terjadi lagi.

Hari-hari berlangsung cukup aneh, diriku masih belum menemukan apa yang ingin aku cari. Aku masih duduk dibangku SMA, tapi rasa takutku akan berbicara di depan orang banyak masih mendera. Tugas-tugas yang diberikan oleh guru-guru itu ada beberapa yang disertai dengan presentasi, dan aku pun harus melakukan itu. Menahan rasa takut, sudah menjadi kewajiban bagiku. Lama kelamaan aku mencoba untuk menghilangkan rasa takut berbicara di depan orang banyak.

Suatu saat, entah mengapa aku harus terjebak dalam sebuah organisasi sekolah yaitu Pramuka. Sebenarnya aku tidak mau menjadi pramuka, karena itu memuakkan. Namun, apalah dayaku, nasi sudah menjadi bubur. Aku harus melakoninya. Masuk di Pramuka tidak terlalu buruk, setidaknya bisa membuat aku memiliki banyak teman. Selain itu, aku juga dilatih agar bisa berbicara di depan umum. Awalnya aku belum bisa menghilangkan rasa takutku itu, dan masih berkeringat kalau bicara di depan orang banyak. Namun, lambat laun aku pun mulai menanggalkan ketakutan itu. Aku mulai bisa menahan rasa takutku, sampai pada akhirnya aku mulai tak ragu lagi untuk bicara di depan orang banyak.

Tiga tahun berada di SMA serta sempat mengenyam pendidikan pramuka disana membuat diriku sudah tidak malu lagi untuk berbicara dihadapan orang banyak. Aku sudah meninggalkan SMA dan beralih ke Perguruan Tinggi. Karena aku orangnya tidak suka ribet, aku tidak mengikuti jejak teman-temanku yang kalang kabut ingin masuk Perguruan Tinggi favorit. Kemampuanku sudah aku timbang, dan masuk Perguruan Tinggi favorit seakan mustahil bagi diriku. Jika kalian menganggap aku orang yang pesimis, terserah. Tapi yang jelas aku tidak ingin mencari-cari kesempatan yang sulit tercapai. Ibarat kata “kalau kamu bisa mencapai hal yang mudah, mengapa harus mencapai yang sulit.” 

Aku masuk di Perguruan Tinggi terdekat dari rumahku, jaraknya tak lebih dari satu kilometer. Bahkan aku sering melihat gedungnya. Kata ibuku,”kuliah tidak perlu jauh-jauh.” Dia benar, dan aku senada dengan ucapannya. Menurutku, kuliah ke luar kota butuh biaya banyak, dan orang tuaku tak sanggup membiayaiku ke luar kota. Lagipun, aku tidak suka ke luar kota, itu membuat diriku ini jauh dari rumah. 

Jadi mahasiswa katanya harus bisa bicara di depan publik. Aku tak perlu khawatir, rasa takutku akan itu sudah aku kubur bersama masa laluku. Kebetulan aku masuk jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Entah mengapa, aku mengambil jurusan itu. Yang jelas, aku pernah dinasehati ayahku untuk menjadi ulama, tapi aku tidak mau. Mungkin karena rasa malu yang mengikat tubuhku saat itu sudah tidak memungkinkan menjadi ulama atau pendakwah. Tapi, ada hal lain yang mendasari aku masuk jurusan ini. Pernah aku menonton film, dan salah satu pemeran utamanya itu bisa sukses tanpa modal apapun, dia hanya masuk perusahaan dan pandai bicara di depan klien. Dan dia selalu diandalkan untuk presentasi bisnis. Juga saat aku menonton berita, aku melihat presenternya sangat cerdas dalam berbicara.

Sejak saat itu, aku pertama kalinya ingin mendalami teknik berkomunikasi yang benar. Di kuliah, aku kembali menemukan seorang gadis yang cantik, dan itu benar-benar membuat hatiku gemetar. Kecantikan parasnya ditopang dengan rajinnya membuat aku jatuh cinta untuk kedua kalinya, tapi yang ini lain. Rasanya aku ingin segera menyatakan cinta padanya. 

Di Perguruan Tinggi, kehidupanku berubah drastis, dari yang dulunya pemalu menjadi tidak. Bahkan aku kerap ditunjuk untuk presentasi tugas. Selain itu, dengan masuknya aku ke dalam salah satu organisasi intra kampus menambah kepercayaan diriku. Sekarang, aku sudah tidak lagi merasa gemetar dan berkeringat ketika harus bicara di depan umum. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Aku belum bisa mengungkapkan rasa cintaku pada gadis itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peci Kakek

Ingat Kazuki Ito? Kenapa Gamers Sepak Bola Banyak Yang Tidak Suka? Ini Ceritanya.

Mengenal Angkringan, Sekedar Ngopi Atau Mau Sambil Diskusi Juga Boleh, Murah Lagi..